Woensdag 19 Junie 2013

Nama : Sadiah
Nim : 1001085032
Prodi : Pendidikan Sejarah
Tugas : Sejarah Intelektual

Pemikiran Islam Abad 19-20
            Sejak Revolusi Iran tahun 1979, Islam  tampil sebagai idiologi yang kuat di arena politik internasional. Berbagai peristiwa sejak revolusi itu, menjadi bukti bahwa Islam, sebagai kekuatan politik, tidak dapat diabaikan begitu saja. Islam merangkul pihak-pihak yang hak-hak sosial, politik dan ekonominya tercabut. Islam merupakan perisai moral terhadap “serangan  gencar” nilai-nilai barat. Akhirnya Islam merupakan sauh bagi individu dan kelompok sosial yang mengalami prahara ketidakpastian, relativisme dan krisis identitas.
            Di Afganistan dan sudan, pemerintahan Islam sudah memegang tampuk kekuasaan sejak 1992. Di Aljazair , kemenangan Front Penyelamat Islam dalam pemilu pada Desember 1991 mempertontonkan “paradoks demokrasi”barat pada dunia. Prospek pemerintahan Islam memaksa benteng dan pendukung tradisional demokrasi parlementer menggunakan hak asasi manusia sebagai prinsip universal “suatu tatanan yang lebih tinggi”: sikap yang mengabaikan kehendak mayoritas ,dan berarti menjustifikasi dukungan mereka bagi adanya kup militer. Di Tajikistan, kekuatan Islam tampaknya akan memenangkan kekuasaan politik. Di Mesir, Maroko, Tunisia, Suriah, Irak, Yordania, Lebanon, Kuwait, India, Srilangka, Indonesia, Burma dan Malaysia, Islam politik tetap merupakan kekuatan penting yang perlu diperhitungkan.
            Kini Islam merupakan kekuatan utama  di arena internasional. Para pengamat dan praktisi perlu mengetahui, memahami dan mengikuti paradigma logik dan implikasi risalah Islam. Islam sebagai kajian histories menuturkan epik perjuangan, pengorbanan dan kesyahidan untuk membela nilai-nilai, idealisme, dan aspirasi-aspirasi Ilahiah, melawan kaum kafir.
            Penulis berusaha menampilkan dan menganilisis riwayat hidup dan sumbangsih tokoh reformasi Islam terutama Syayid Jamaluddin Al-Afghani (1838-1897) dan Syayid Muhammad Abduh (1849)  yang tulisan-tulisan religio politik dan ekonomi maupun praktik politik mereka memainkan peranan sangat penting dalam menjadikan Islam sebagai sebuah kekuatan politik. Kebangkitan Islam di negeri-negeri Islam, selama fase pertama manisfestasinya, ditandai dengan bangkitnya perhatian terhadap Islam sebagai idiologi yang memilki kekuatan pembebas . Al-Qur’an dan Sunnah Nabi merupakan sumber pokok untuk membuat solusi bagi berbagai problem ekonomi dan sosiopolitik kontemporer yang mendesak Islam praktik dan ritual pribadi dimasyarakatkan. Riwayat hidup, perjuangan, dan pengorbanan para sahabat dan penerus nabi dimulyakan dan dijadikan model peran bagi kaum muslim. Berdirinya Negara Islam barangkali merupakan tujuan paling penting bagi para tokoh kebangkitan Islam. Namun, ini tidaklah berarti bahwa semua tokoh kebangkitan berpandangan sama mengenai apa itu negara Islam dan bagaimana menjalankannya.
            Karena kebangkitan Islam berakar dan tumbuh di negeri-negeri dimana Islam merupakan mayoritas atau agama resmi Negara, timbul pertanyaan kenapa Islam perlu dikokohkan kembali di tempat-tempat dimana Islam sudah dihormati dan menjadi praktik sebagian besar anggota masyarakat? Membangkitkan Islam di Negara Islam seperti mempersiapkan jalan bagi Phoenix untuk bangkit dari abunya sendiri. Kebangkitan Islam menjadi suara ketidakpuasan terhadap penjunjung tinggi status quo yang tidak Islami. Kebangkitan Islam pada akhirnya bertujuan menumbangkan atau mengubah secara radikal suatu system sosial yang diyakini sebagai penyebab dekadensi, keruksakan, ketidakadilan sosial, penindasan dan kekufuran. Para tokoh kebangkitan Islam menyebutkan empat sebab utama kemunduran kaum muslim. Pertama,erosi nilai-nilai Islam dan ketidak pedulian pemerintah untuk menerapkan peraturan sosio-ekonomi dan etika Islam. Kedua, sikap diam dan kerjasama lembaga ulama dan pemerintah yang pada hakikatnya tidak Islami. Ketiga, korupsi dan kezaliman kelas penguasa atau keluarganya. Keempat, kerjasama kelas penguasa dan ketergantungannya pada kekuatan-kekuatan imperealis yang tidak Islami.
            Perubahan melalui pembaharuan atau revolusi sudah lama menjadi pokok perdebatan yang kontroversial . Muhammad Al-Ghazali (1058-1111) adalah salah seorang perintis awal kebangkitan Islam. Dalam bukunya Ihya Ulum Al-Din Al-Ghazali menguraikan dengan jelas perlunya kebangkitan Islam di negara-negara Islam. Al-Ghazali yang tinggal di Baghdad mengatakan bahwa keruksakan ulama akan merusak penguasa, dan keruksakan penguasa pada akhirnya akan merusak rakyat.
            Semua perintis kebangkitan Islam merindukan semangat Islam seperti kasih sayang, solidaritas, persaudaraan dan keadilan sosial. Semangat ini dikaitkan dengan zaman keemasan pemerintahan nabi di Madinah.  Kerinduan akan tatanan  yang ditegakkan oleh orang-orang saleh yang menjunjung tinggi agama ini menjadi bermakna dalam konteks lingkungan sosio-ekonomi yang mengalami transformasi radikal. Tugas orang –orang seperti ini adalah menyusun kembali, memperbaharui atau mensintesis Islam agar relevan dengan kebutuhan, tuntutan dan keadaan sulit yang dihadapi orang-orang yang mereka anggap sebagai korban peradaban modern. Para tokoh kebangkitan menyatakan akan melakukan penyelamatan material dan spiritual terhadap kaum muslim. Islam mamadukan wacana kritis terhadap status quo, dengan seruan agar kaum muslim rukun dan bersatu. Untuk menghadapi dunia luar dan pengaruhnya yang kian berkembang, kekuatan dan kemuliaan Islam haruslah diraih dengan cara mengakhiri pertikaian antar sekte dalam Islam yang tak ada hentinya. Secara teoritis, para tokoh kebangkitan Islam berupaya menyelaraskan apa yang mereka yakini sebagai dislokasi hiostoris antara bidang spiritual dan bidang material. Keberhasilan mereka ditentukan bukan saja oleh pemahaman, analisis dan kritik terhadap berbagai problem zaman modern, namun juga oleh ketersediaan berbagai solusi yang lebih bermanfaat dan dapat diterapkan.

Jamaluddin Al Afghani

Biografi
            Nama panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
            Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempelajari bahasa Arab, sejarah, matematika, filsafat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil jenius yang penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia. Setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis), Al-Afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke India, negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Kebencian kepada kolonialisme yang telah membara dalam dadanya makin berkecamuk ketika Afghani menyaksikan India yang berada dalam tekanan Inggris. Perlawanan terjadi di seluruh India. Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting ini, dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun, Afghani masih sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulang dari haji, Afghani pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Saat itu, Dost Muhammad sedang mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan kaum cendekiawan yang didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost terbunuh dan takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, Afghani diusir dari Kabul.
            Meninggalkan Kabul, Afghani berkelana ke Hijjaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran oleh Sher Ali berdampak bagi perjalanan Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati jalur Hijjaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun 1869 Afghani masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh pemerintah India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin India berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh Afghani akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah India mengusir Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang bergolak.
            Di Mesir Afghani melakukan kontak dengan mahasiswa Al-Azhar yang terkagum-kagum dengan wawasan dan ide-idenya. Salah seorang mahasiswa yang kemudian menjadi murid Afghani adalah Muhammad Abduh. Dari Mesir, Afghani pergi ke Istanbul untuk berdakwah. Di ibu kota Turki ini Afghani mendapat sambutan yang luar biasa. Ketika memberi ceramah di Universitas Konstantinopel, salah seorang ulama setempat, Syaikhul Islam, merasa tersaingi. Ia segera menghasut pemerintah Turki untuk mewaspadai gagasan-gagasan Afghani. Buntutnya, Afghani didepak keluar dari Turki. Pada tahun 1871.
           Afghani menjejakkan kakinya di Kairo untuk yang kedua kalinya. Di Mesir Afghani melanjutkan dakwahnya yang pernah terputus dan segera mempengaruhi para mahasiswa dan ulama Al-Azhar. Tetapi, pemberontakan kaum nasionalis Mesir pada tahun 1882 berujung pada tindakan deportasi  oleh pemerintah Mesir yang mencurigai Afghani ada di belakang pemberontakan. Afghani dideportasi ke India, tetapi tak lama ia sudah berada dalam perjalanan ke London, kota yang pernah disinggahinya ketika ia berdakwah ke Paris. Di London ia bertemu dengan Muhammad Abduh, muridnya yang ternyata juga dikucilkan oleh pemerintah Mesir.
Dari London, Afghani bertualang ke Moskow. Ia tinggal selama empat tahun di St. Petersburgh. Di sini pengaruh Afghani segera menjalar ke lingkungan intelektual yang dipercaya oleh Tsar Rusia. Salah satu hasil dakwah Afghani kepada mereka adalah keluarnya izin pencetakan Al-Quran ke dalam bahasa Rusia.
            Afghani menghabiskan sisa umurnya dengan bertualang keliling Eropa untuk berdakwah. Bapak pembaharu Islam ini memang tak memiliki rintangan bahasa karena ia menguasai enam bahasa dunia (Arab, Inggris, Perancis, Turki, Persia, dan Rusia). Afghani menghembuskan nafasnya yang terakhir karena kanker yang dideritanya sejak tahun 1896. Beliau pulang keharibaan Allah pada tanggal 9 Maret 1897 di Istambul Turki dan dikubur di sana. Jasadnya dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944. Ustad Abu Rayyah dalam bukunya “Al-Afghani; Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”, menyatakan, bahwa Al-Afghani meninggal akibat diracun dan ada pendapat kedua yang menyatakan bahwa ada rencana Sultan untuk membinasakannya.
Pemikiran Politik Al-Afgani
Selama di Mesir Jamaluddin al-Afghani mengutarakan beberapa konsep pembaharuannya, yaitu :
a. Musuh utama umat Islam ialah penjajah (Barat).
b. Umat Islam harus menentang penjajahan bila dan di mana sahaja.
c. Untuk mencapai tujuan itu umat Islam harus bersatu (Pan-Islamisme).
Pan-Islamisme bukan bererti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka harus mempunyai satu pandangan yang bersatu dan bekerjasama. Persatuan dan kerjasama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam. Persatuan Islam hanya dapat dicapai apabila berada dalam kesatuan dan kembali kepada ajaran Islam yang murni iaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Untuk mencapai usaha-usaha pembaharuan tersebut :
a. Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan kepada perkara-perkara yang berunsur tahyul
b.Umat islam harus yakin bahawa Al-Quran dan As sunnah merupakan pegangan hidup
c.Rukun iman menjadi landasan hidup
d. Setiap generasi umat mempunyai keistimewaan untuk memberikan pengajaran dan pendidikan pada manusia yang bodoh dalam memerangi hawa nafsu jahat.
            Dari Mesir, Jamaluddin al-Afghani telah pergi ke Turki dan tokoh-tokoh terkemuka di sana sangat terpengaruh dengan ajarannya. Pada tahun 1871 beliau kembali ke negeri Mesir untuk membangkitkan kegemilangan umat Islam dan ajaran-ajarannya. Beliau juga mengkhidmatkan dirinya dalam kerja-kerja kebajikan dan pendidikan. Beliau telah mendesak pihak yang berwajib supaya mengiktirafkan bahasa Urdu sebagai bahasa pengantar dalam pemerintahan, bahkan menjadikannya sebagai bahasa rasmi negara. Akibat dari keberaniannya itu, beliau telah ditangkap lalu di bawa ke Culcutta. Dari sana Jamaluddin di bawa ke Inggeris.
            Dikota Paris, Jamaluddin telah mengasaskan Badan "Pertubuhan Alurvatul Vusuka" lalu menerbitkan sebuah akhbar mingguan dalam bahasa Arab yang bertujuan untuk menyemarakkan gerakan Pan-Islamisme. Fahaman yang hendak dibawa oleh Jamaluddin al-Afghani ialah untuk membebaskan umat islam dari menjadi mangsa penjajahan Barat serta menghalang daripada penyebaran idea-idea pihak Barat yang bersifat jahat untuk menjatuhkan umat islam ke arah kemunduran. Dari kota Paris Jamaluddin Al Afghani telah pergi ke Moscow dan kemudian ke bandar St.Petersburg. Dimana beliau telah menetap di sana selama lebih empat tahun. Di sana beliau berjaya memujuk Maharaja Czar Russia bagi membenarkan rakyatnya yang beragama Islam supaya menerbitkan Kitab Al Qur'an dengan bebas serta buku-buku agama yang lain. Al Afghani telah menekankan satu hakikat bahawa keteguhan sebuah negara tidak bergantung kepada tentaranya sahaja bahkan juga semangat juang rakyatnya.
            Terdapat dua bentuk dalam pengajaran Jamaluddin Al Afghani. Pertama beliau menekankan supaya pengajaran agama Islam itu diperbaiki supaya sesuai dan dapat mengikut tamadun moden dan yang kedua bertujuan untuk membebaskan negara Islam dari kekuasaan Barat. Beliau berpendapat bahawa umat Islam telah merosot akhlaknya dan lemah semangat serta dikuasai oleh hawa nafsu jahat. Beliau menaruh keyakinan penuh bahawa kekuasaan Barat kepada negara Islam adalah amat bahaya dengan keadaan demikian. Jika umat Islam tidak berubah, mereka pasti akan menerima nasib yang lebih buruk lagi. Oleh yang demikian umat Islam hendaklah bangkit untuk kembali pada agama dan diri mereka sebagai umat Islam yang mulia lagi terpuji.

Gagasan Pan-Islamisme Al-Afghani
Pengalaman yang diserap Al-Afghani selama lawatannya ke Barat  menumbuhkan semangatnya untuk mamajukan umat. Barat yang diperankan oleh Inggris dan Prancis  mulai  hendak menancapkan dominasi politiknya di dunia Islam, maka pasti akan berhadapan dengan Al-afghani. Adanya anggapan dasar yang dipegang oleh Al-Afghani menghadapi Barat seperti diungkapkan L. Stoddard yakni :
   1. Dunia Kristen sekalipun mereka berbeda dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila menghadapi dunia Timur (Islam) mereka bersatu untuk menghancurkannya.
   2. Semangat perang Salib masih tetap berkobar, orang Kristen masih menaruh dendam. Ini terbukti umat Islam diperlakukan secara diskriminatif dengan orang Kristen.
   3. Negara-negara Kristen membela agamanya. Mereka memandang Negara Islam lemah, terbelakang dan biadab. Mereka selalu berusaha menghancurkan  dan  menghalangi  kemajuan Islam.
   4. Kebencian terhadap umat Islam bukan hanya sebagain mereka, tetapi seluruhnya. Mereka terus-menerus bersembunyi dan berusaha menyembunyikannya.
   5. Perasaan dan aspirasi umat Islam diejek dan difitnah oleh mereka. Istilah nasionalisme dan patriotosme di Barat, di Timur disebut fanatisme.
            Menurut Al-Afghani, hal-hal tersebut di atas menuntut adanya persatuan umat Islam untuk  menghadapui dunia Barat dan mempertahankanya dari keruntuhan. Disamping itu Al-Afghani melihat bahwa kondisi umat Islam sendiri memang berada dalam kemunduran yang mengkhawatirkan. Kemunduran  tersebut  menurutnya bukan karena ajaran Islam, tetapi oleh umat itu sendiri yang yang tidak berupaya mengubah nasibnya. Perpecahan terjadi di kalangan  mereka maka pemerintahan  menjadi absolut, pemimpin  tidak dapat dipercaya, lemah dalam bidang militer dan ekonomi bersamaan dengan datangnya intervensi asing. Menghadapi paham fatalisme, Al-Afghani mengajak umat Islam merebut peradaban, kebudayaan, ilmu pengetahun Barat yang positif dan sesuai ajaran Islam. Dengan demikian, umat Islam akan dinamis dan tidak menerima apa adanya serta menyerukan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. Ia selanjutnya menegaskan bahwa dalam Islam ada kemerdekaan dan kedaulatan umat. pemerintah dapat saja dikritik dan tidak  berkuasa mutlak. Al-Afghani mengajak umat, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan bekejasama dalam meraih kemajuan dan membebaskan diri dari itervensi Barat. Untuk tujuan di atas,  Al-Afghani mencetuskan ide Pan Islamisme. Semangat ini dikobarkan ke seluruh negeri Islam yang tengah berada dalam kemunduran dan dominasi Barat. Pan Islamisme (Al-jami’iyyah Al-Islamiyyah) ialah rasa solidaritas seluruh umat Islam. Solidaristas sepeti itu sudah ada dan diajarkan sejak Nabi SAW, baik dalam menghadapi kafir Quraisy ataupun  dalam kegiatan-kegiatan sebagai upaya menciptakan  kesejahteraan umat.
            Semangat  pan Islamisme yang diserukan Al-Afghani memberikan pengaruah besar di kalangan umat terutama bagi para pemimpinnya. Hal ini kemudian menyadarkan  mereka akan  besarnya ancaman Barat. Sultan Abdul Hamid dari Kerajaan Turki Usmani misalnya menyambut dengan penuh antusias. Ia mendirikan organisai seruan Pan-Islamisme mengutus banyak orang ke berbagai negeri Islam dengan pesan agar umat Islam bersatu dan  meleaskan diri dari  pemerintahan Barat. Hal ini dilakukan oleh Sultan selama 30 tahun. Seruan Pan-Islamisme menghasilkan  pengaruh yang sangat besar dan mendalam. Di berbagai negeri muslim telah lahir tokoh-tokoh di kalangan umat yang berjuang menuntut kemerdekaan dari penjajah Barat, seperti Abdul Hamid di Turki, Muhamamd Abduh dan Saad Zaghlul di Mesir serta torkoh lainnya.

Konsep Negara menurut Al-Afghani
            Selain Pan-Islamisme, Al-Afghani juga mengajukan konseop negara republik yang demokratis bagi negeri-negeri Islam. Al-Afghani banyak mencela sistem pemerintahan umat Islam yang bercorak otokratis monarkhi absolut. Menurutnya, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang memiliki banyak pengalaman. Pengetahuan manusia secara individu amat terbatas. Islam dalam pandangan Al-Afghani menghendaki pemerintahan Republik di mana kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada Undang-undang.
            Pendapat ini baru dalam sejarah politik Islam. Sebelumnya umat Islam hanya mengenal system kekhalifahan  yang mempunyai kekuasaan absolut. Dalam pemerintah republik, yang berkuasa adalah undang-undang dan hukum, bukan kepala Negara. Ia hanya kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan hukum yang digariskan oleh lembaga  legislative untuk  memajukan kemaslahatan rakyat. Pendapat Al-Afghani  tersebut jelas dipengaruhi oleh pemikiran  Barat. Pemunculan ide Al-Afghani tersebut sebagai  reaksi kepada salah satu  sebab kemunduran  umat Islam yang bersifat politis, yaitu pemerintahan  absolut. Di dalam pemerintahan absolut dan otokrasi tidak ada kebebasan berpendapat. Kebebasan hanya pada raja/kepala Negara untuk bertindak yang tidak diatur oleh undang-undang. Karena itu, Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absolute dan otokrasi diganti dengan coak pemeritahan demokrasi.
            Bukti keinginan Al-Afghani akan pemerintahan yang demokratis, adalah penegasannya tentang keharusan kepala Negara  mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak pegalaman. Pemerintahan otokrasi yang cenderung  meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat  menghargai hak-hak individu. Pemerintahan otokrasi yang mawujud dalam institusi khilafah saat itu harus diganti denegan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Pemerintah yang demokratis menurut Al-Afghani menghendaki adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga ini bertugas memberi usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu  kebijaksanaan Negara. Ide dari wakil rakyat yang berpengalaman merupakan  sumbangan yang berharga bagi pemerintah, karenanya para wakil rakyat haruslah berpengalaman dan berwawasan luas dan bermoral baik. Wakil-wakil tersebut akan membawa dampak positif pada pemerinnthan sehingga akan  melahirkan undang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat.
            Demikian juga para pemegang kekuasan haruslah orang-orang yang paling taat terhadap undang-unang. Kekuasaan yang diperoleh bukanlah karena  kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaannya. Model inilah yang berlaku di dalam sistem khilafah, yang bagi Al-Afghani tidak sesuai  dengan ajaran Islam. Baginya, kekuasan itu harus diperoleh melaui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demkian orang yang dipilih mempunyai dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaanya itu. Menurut Munawir Sadjali, Pan-Islamisme Al-Afghani itu adalah  suatu asosiasi antar Negara-negara Islam dan umat Islam di wilayah jajahan untuk  menentang kezaliman intern para penguasa muslim yang lalim, menentang kolonialisme dan imperialisme Barat serta mewujudkan keadilan. Dalam kiprahnya di dunia politik Al-Afghani banyak meyumbangkan pemikiran, yakni:
1. Keyakian bahwa kebangkitan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin.
2. Perlawanan terhadap kolonislisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan.
3. Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam Ilmu dan Teknologi, dan karenanya umat Islam harus  belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut.
4. Menentang setiap sistem yang sewenang-wenang dan menggantikannya dengan pemerintahan berdasarkan musyawarah.
5.Menganjurkan pembentukan  Jamiah Islamiyah/ Pan-Islamisme, menyatukan seluruh umat Islam termasuk Persia dengan menggunakan suatu bahasa yakni bahasa Arab.
6.Melakukan perubahan kekuasan dengan cara revolusi.


Referensi
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan Dalam Islam: sejarah pemikiran dan gerakan. Jakarta : PT Magenta Bhakti Guna.
Agung, Leo S. 2013. Sejarah Intelektual. Yogyakarta: Ombak

http://khamdanguru.wordpress.com