Nama : Sadiah
Nim : 1001085032
Prodi : Pendidikan Sejarah
Tugas : Sejarah Intelektual
Pemikiran Islam Abad 19-20
Sejak Revolusi Iran tahun 1979,
Islam tampil sebagai idiologi yang kuat
di arena politik internasional. Berbagai peristiwa sejak revolusi itu, menjadi
bukti bahwa Islam, sebagai kekuatan politik, tidak dapat diabaikan begitu saja.
Islam merangkul pihak-pihak yang hak-hak sosial, politik dan ekonominya
tercabut. Islam merupakan perisai moral terhadap “serangan gencar” nilai-nilai barat. Akhirnya Islam
merupakan sauh bagi individu dan kelompok sosial yang mengalami prahara
ketidakpastian, relativisme dan krisis identitas.
Di Afganistan dan sudan,
pemerintahan Islam sudah memegang tampuk kekuasaan sejak 1992. Di Aljazair ,
kemenangan Front Penyelamat Islam dalam pemilu pada Desember 1991
mempertontonkan “paradoks demokrasi”barat pada dunia. Prospek pemerintahan Islam
memaksa benteng dan pendukung tradisional demokrasi parlementer menggunakan hak
asasi manusia sebagai prinsip universal “suatu tatanan yang lebih tinggi”:
sikap yang mengabaikan kehendak mayoritas ,dan berarti menjustifikasi dukungan
mereka bagi adanya kup militer. Di Tajikistan, kekuatan Islam tampaknya akan
memenangkan kekuasaan politik. Di Mesir, Maroko, Tunisia, Suriah, Irak,
Yordania, Lebanon, Kuwait, India, Srilangka, Indonesia, Burma dan Malaysia,
Islam politik tetap merupakan kekuatan penting yang perlu diperhitungkan.
Kini Islam merupakan kekuatan
utama di arena internasional. Para
pengamat dan praktisi perlu mengetahui, memahami dan mengikuti paradigma logik
dan implikasi risalah Islam. Islam sebagai kajian histories menuturkan epik
perjuangan, pengorbanan dan kesyahidan untuk membela nilai-nilai, idealisme,
dan aspirasi-aspirasi Ilahiah, melawan kaum kafir.
Penulis berusaha menampilkan dan
menganilisis riwayat hidup dan sumbangsih tokoh reformasi Islam terutama Syayid
Jamaluddin Al-Afghani (1838-1897) dan Syayid Muhammad Abduh (1849) yang tulisan-tulisan religio politik dan
ekonomi maupun praktik politik mereka memainkan peranan sangat penting dalam
menjadikan Islam sebagai sebuah kekuatan politik. Kebangkitan Islam di
negeri-negeri Islam, selama fase pertama manisfestasinya, ditandai dengan
bangkitnya perhatian terhadap Islam sebagai idiologi yang memilki kekuatan
pembebas . Al-Qur’an dan Sunnah Nabi merupakan sumber pokok untuk membuat
solusi bagi berbagai problem ekonomi dan sosiopolitik kontemporer yang mendesak
Islam praktik dan ritual pribadi dimasyarakatkan. Riwayat hidup, perjuangan,
dan pengorbanan para sahabat dan penerus nabi dimulyakan dan dijadikan model
peran bagi kaum muslim. Berdirinya Negara Islam barangkali merupakan tujuan
paling penting bagi para tokoh kebangkitan Islam. Namun, ini tidaklah berarti
bahwa semua tokoh kebangkitan berpandangan sama mengenai apa itu negara Islam
dan bagaimana menjalankannya.
Karena kebangkitan Islam berakar dan
tumbuh di negeri-negeri dimana Islam merupakan mayoritas atau agama resmi
Negara, timbul pertanyaan kenapa Islam perlu dikokohkan kembali di
tempat-tempat dimana Islam sudah dihormati dan menjadi praktik sebagian besar
anggota masyarakat? Membangkitkan Islam di Negara Islam seperti mempersiapkan
jalan bagi Phoenix untuk bangkit dari abunya sendiri. Kebangkitan Islam menjadi
suara ketidakpuasan terhadap penjunjung tinggi status quo yang tidak Islami.
Kebangkitan Islam pada akhirnya bertujuan menumbangkan atau mengubah secara
radikal suatu system sosial yang diyakini sebagai penyebab dekadensi,
keruksakan, ketidakadilan sosial, penindasan dan kekufuran. Para tokoh
kebangkitan Islam menyebutkan empat sebab utama kemunduran kaum muslim.
Pertama,erosi nilai-nilai Islam dan ketidak pedulian pemerintah untuk
menerapkan peraturan sosio-ekonomi dan etika Islam. Kedua, sikap diam dan
kerjasama lembaga ulama dan pemerintah yang pada hakikatnya tidak Islami.
Ketiga, korupsi dan kezaliman kelas penguasa atau keluarganya. Keempat,
kerjasama kelas penguasa dan ketergantungannya pada kekuatan-kekuatan
imperealis yang tidak Islami.
Perubahan melalui pembaharuan atau
revolusi sudah lama menjadi pokok perdebatan yang kontroversial . Muhammad
Al-Ghazali (1058-1111) adalah salah seorang perintis awal kebangkitan Islam.
Dalam bukunya Ihya Ulum Al-Din Al-Ghazali menguraikan dengan jelas perlunya
kebangkitan Islam di negara-negara Islam. Al-Ghazali yang tinggal di Baghdad
mengatakan bahwa keruksakan ulama akan merusak penguasa, dan keruksakan
penguasa pada akhirnya akan merusak rakyat.
Semua perintis kebangkitan Islam
merindukan semangat Islam seperti kasih sayang, solidaritas, persaudaraan dan
keadilan sosial. Semangat ini dikaitkan dengan zaman keemasan pemerintahan nabi
di Madinah. Kerinduan akan tatanan yang ditegakkan oleh orang-orang saleh yang
menjunjung tinggi agama ini menjadi bermakna dalam konteks lingkungan sosio-ekonomi
yang mengalami transformasi radikal. Tugas orang –orang seperti ini adalah
menyusun kembali, memperbaharui atau mensintesis Islam agar relevan dengan
kebutuhan, tuntutan dan keadaan sulit yang dihadapi orang-orang yang mereka
anggap sebagai korban peradaban modern. Para tokoh kebangkitan menyatakan akan
melakukan penyelamatan material dan spiritual terhadap kaum muslim. Islam
mamadukan wacana kritis terhadap status quo, dengan seruan agar kaum muslim
rukun dan bersatu. Untuk menghadapi dunia luar dan pengaruhnya yang kian
berkembang, kekuatan dan kemuliaan Islam haruslah diraih dengan cara mengakhiri
pertikaian antar sekte dalam Islam yang tak ada hentinya. Secara teoritis, para
tokoh kebangkitan Islam berupaya menyelaraskan apa yang mereka yakini sebagai
dislokasi hiostoris antara bidang spiritual dan bidang material. Keberhasilan
mereka ditentukan bukan saja oleh pemahaman, analisis dan kritik terhadap
berbagai problem zaman modern, namun juga oleh ketersediaan berbagai solusi
yang lebih bermanfaat dan dapat diterapkan.
Jamaluddin
Al Afghani
Biografi
Nama panjang beliau adalah Muhammad
Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254
H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya
bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang
telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin
Abi Thalib.
Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah
memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempelajari bahasa
Arab, sejarah, matematika, filsafat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada
usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan
meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan
metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil jenius yang penguasaannya
terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia. Setelah membekali dirinya dengan
seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis),
Al-Afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke
India, negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya.
Kebencian kepada kolonialisme yang telah membara dalam dadanya makin berkecamuk
ketika Afghani menyaksikan India yang berada dalam tekanan Inggris. Perlawanan
terjadi di seluruh India. Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting
ini, dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857.
Namun, Afghani masih sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulang
dari haji, Afghani pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa
Afghanistan, Dost Muhammad, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam
pemerintahannya. Saat itu, Dost Muhammad sedang mempertahankan kekuasaannya
dengan memanfaatkan kaum cendekiawan yang didukung rakyat Afghanistan. Sayang,
ketika akhirnya Dost terbunuh dan takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, Afghani
diusir dari Kabul.
Meninggalkan Kabul, Afghani
berkelana ke Hijjaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran oleh Sher
Ali berdampak bagi perjalanan Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati jalur
Hijjaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun 1869
Afghani masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh
pemerintah India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin
India berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh Afghani
akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah
India mengusir Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang
bergolak.
Di Mesir Afghani melakukan kontak
dengan mahasiswa Al-Azhar yang terkagum-kagum dengan wawasan dan ide-idenya.
Salah seorang mahasiswa yang kemudian menjadi murid Afghani adalah Muhammad
Abduh. Dari Mesir, Afghani pergi ke Istanbul untuk berdakwah. Di ibu kota Turki
ini Afghani mendapat sambutan yang luar biasa. Ketika memberi ceramah di
Universitas Konstantinopel, salah seorang ulama setempat, Syaikhul Islam,
merasa tersaingi. Ia segera menghasut pemerintah Turki untuk mewaspadai
gagasan-gagasan Afghani. Buntutnya, Afghani didepak keluar dari Turki. Pada
tahun 1871.
Afghani menjejakkan kakinya di Kairo
untuk yang kedua kalinya. Di Mesir Afghani melanjutkan dakwahnya yang pernah
terputus dan segera mempengaruhi para mahasiswa dan ulama Al-Azhar. Tetapi,
pemberontakan kaum nasionalis Mesir pada tahun 1882 berujung pada tindakan
deportasi oleh pemerintah Mesir yang
mencurigai Afghani ada di belakang pemberontakan. Afghani dideportasi ke India,
tetapi tak lama ia sudah berada dalam perjalanan ke London, kota yang pernah
disinggahinya ketika ia berdakwah ke Paris. Di London ia bertemu dengan
Muhammad Abduh, muridnya yang ternyata juga dikucilkan oleh pemerintah Mesir.
Dari
London, Afghani bertualang ke Moskow. Ia tinggal selama empat tahun di St.
Petersburgh. Di sini pengaruh Afghani segera menjalar ke lingkungan intelektual
yang dipercaya oleh Tsar Rusia. Salah satu hasil dakwah Afghani kepada mereka
adalah keluarnya izin pencetakan Al-Quran ke dalam bahasa Rusia.
Afghani menghabiskan sisa umurnya
dengan bertualang keliling Eropa untuk berdakwah. Bapak pembaharu Islam ini
memang tak memiliki rintangan bahasa karena ia menguasai enam bahasa dunia
(Arab, Inggris, Perancis, Turki, Persia, dan Rusia). Afghani menghembuskan
nafasnya yang terakhir karena kanker yang dideritanya sejak tahun 1896. Beliau
pulang keharibaan Allah pada tanggal 9 Maret 1897 di Istambul Turki dan dikubur
di sana. Jasadnya dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944. Ustad Abu Rayyah
dalam bukunya “Al-Afghani; Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”,
menyatakan, bahwa Al-Afghani meninggal akibat diracun dan ada pendapat kedua
yang menyatakan bahwa ada rencana Sultan untuk membinasakannya.
Pemikiran Politik Al-Afgani
Selama
di Mesir Jamaluddin al-Afghani mengutarakan beberapa konsep pembaharuannya,
yaitu :
a.
Musuh utama umat Islam ialah penjajah (Barat).
b.
Umat Islam harus menentang penjajahan bila dan di mana sahaja.
c.
Untuk mencapai tujuan itu umat Islam harus bersatu (Pan-Islamisme).
Pan-Islamisme
bukan bererti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka
harus mempunyai satu pandangan yang bersatu dan bekerjasama. Persatuan dan
kerjasama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam. Persatuan Islam hanya
dapat dicapai apabila berada dalam kesatuan dan kembali kepada ajaran Islam
yang murni iaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Untuk mencapai usaha-usaha
pembaharuan tersebut :
a.
Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan kepada perkara-perkara yang berunsur
tahyul
b.Umat
islam harus yakin bahawa Al-Quran dan As sunnah merupakan pegangan hidup
c.Rukun
iman menjadi landasan hidup
d.
Setiap generasi umat mempunyai keistimewaan untuk memberikan pengajaran dan
pendidikan pada manusia yang bodoh dalam memerangi hawa nafsu jahat.
Dari Mesir, Jamaluddin al-Afghani
telah pergi ke Turki dan tokoh-tokoh terkemuka di sana sangat terpengaruh
dengan ajarannya. Pada tahun 1871 beliau kembali ke negeri Mesir untuk
membangkitkan kegemilangan umat Islam dan ajaran-ajarannya. Beliau juga
mengkhidmatkan dirinya dalam kerja-kerja kebajikan dan pendidikan. Beliau telah
mendesak pihak yang berwajib supaya mengiktirafkan bahasa Urdu sebagai bahasa
pengantar dalam pemerintahan, bahkan menjadikannya sebagai bahasa rasmi negara.
Akibat dari keberaniannya itu, beliau telah ditangkap lalu di bawa ke Culcutta.
Dari sana Jamaluddin di bawa ke Inggeris.
Dikota Paris, Jamaluddin telah
mengasaskan Badan "Pertubuhan Alurvatul Vusuka" lalu menerbitkan
sebuah akhbar mingguan dalam bahasa Arab yang bertujuan untuk menyemarakkan
gerakan Pan-Islamisme. Fahaman yang hendak dibawa oleh Jamaluddin al-Afghani
ialah untuk membebaskan umat islam dari menjadi mangsa penjajahan Barat serta
menghalang daripada penyebaran idea-idea pihak Barat yang bersifat jahat untuk
menjatuhkan umat islam ke arah kemunduran. Dari kota Paris Jamaluddin Al
Afghani telah pergi ke Moscow dan kemudian ke bandar St.Petersburg. Dimana
beliau telah menetap di sana selama lebih empat tahun. Di sana beliau berjaya
memujuk Maharaja Czar Russia bagi membenarkan rakyatnya yang beragama Islam
supaya menerbitkan Kitab Al Qur'an dengan bebas serta buku-buku agama yang
lain. Al Afghani telah menekankan satu hakikat bahawa keteguhan sebuah negara
tidak bergantung kepada tentaranya sahaja bahkan juga semangat juang rakyatnya.
Terdapat dua bentuk dalam pengajaran
Jamaluddin Al Afghani. Pertama beliau menekankan supaya pengajaran agama Islam
itu diperbaiki supaya sesuai dan dapat mengikut tamadun moden dan yang kedua
bertujuan untuk membebaskan negara Islam dari kekuasaan Barat. Beliau
berpendapat bahawa umat Islam telah merosot akhlaknya dan lemah semangat serta
dikuasai oleh hawa nafsu jahat. Beliau menaruh keyakinan penuh bahawa kekuasaan
Barat kepada negara Islam adalah amat bahaya dengan keadaan demikian. Jika umat
Islam tidak berubah, mereka pasti akan menerima nasib yang lebih buruk lagi.
Oleh yang demikian umat Islam hendaklah bangkit untuk kembali pada agama dan
diri mereka sebagai umat Islam yang mulia lagi terpuji.
Gagasan Pan-Islamisme Al-Afghani
Pengalaman
yang diserap Al-Afghani selama lawatannya ke Barat menumbuhkan semangatnya untuk mamajukan umat.
Barat yang diperankan oleh Inggris dan Prancis
mulai hendak menancapkan dominasi
politiknya di dunia Islam, maka pasti akan berhadapan dengan Al-afghani. Adanya
anggapan dasar yang dipegang oleh Al-Afghani menghadapi Barat seperti
diungkapkan L. Stoddard yakni :
1. Dunia Kristen sekalipun mereka berbeda
dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila menghadapi dunia Timur (Islam)
mereka bersatu untuk menghancurkannya.
2. Semangat perang Salib masih tetap
berkobar, orang Kristen masih menaruh dendam. Ini terbukti umat Islam
diperlakukan secara diskriminatif dengan orang Kristen.
3. Negara-negara Kristen membela agamanya.
Mereka memandang Negara Islam lemah, terbelakang dan biadab. Mereka selalu
berusaha menghancurkan dan menghalangi
kemajuan Islam.
4. Kebencian terhadap umat Islam bukan hanya
sebagain mereka, tetapi seluruhnya. Mereka terus-menerus bersembunyi dan
berusaha menyembunyikannya.
5. Perasaan dan aspirasi umat Islam diejek
dan difitnah oleh mereka. Istilah nasionalisme dan patriotosme di Barat, di
Timur disebut fanatisme.
Menurut Al-Afghani, hal-hal tersebut
di atas menuntut adanya persatuan umat Islam untuk menghadapui dunia Barat dan mempertahankanya
dari keruntuhan. Disamping itu Al-Afghani melihat bahwa kondisi umat Islam
sendiri memang berada dalam kemunduran yang mengkhawatirkan. Kemunduran tersebut
menurutnya bukan karena ajaran Islam, tetapi oleh umat itu sendiri yang
yang tidak berupaya mengubah nasibnya. Perpecahan terjadi di kalangan mereka maka pemerintahan menjadi absolut, pemimpin tidak dapat dipercaya, lemah dalam bidang
militer dan ekonomi bersamaan dengan datangnya intervensi asing. Menghadapi
paham fatalisme, Al-Afghani mengajak umat Islam merebut peradaban, kebudayaan,
ilmu pengetahun Barat yang positif dan sesuai ajaran Islam. Dengan demikian,
umat Islam akan dinamis dan tidak menerima apa adanya serta menyerukan bahwa
pintu ijtihad tidak tertutup. Ia selanjutnya menegaskan bahwa dalam Islam ada
kemerdekaan dan kedaulatan umat. pemerintah dapat saja dikritik dan tidak berkuasa mutlak. Al-Afghani mengajak umat,
pemimpin dan kelompok agar bersatu dan bekejasama dalam meraih kemajuan dan
membebaskan diri dari itervensi Barat. Untuk tujuan di atas, Al-Afghani mencetuskan ide Pan Islamisme.
Semangat ini dikobarkan ke seluruh negeri Islam yang tengah berada dalam
kemunduran dan dominasi Barat. Pan Islamisme (Al-jami’iyyah Al-Islamiyyah)
ialah rasa solidaritas seluruh umat Islam. Solidaristas sepeti itu sudah ada
dan diajarkan sejak Nabi SAW, baik dalam menghadapi kafir Quraisy ataupun dalam kegiatan-kegiatan sebagai upaya
menciptakan kesejahteraan umat.
Semangat pan Islamisme yang diserukan Al-Afghani
memberikan pengaruah besar di kalangan umat terutama bagi para pemimpinnya. Hal
ini kemudian menyadarkan mereka akan besarnya ancaman Barat. Sultan Abdul Hamid
dari Kerajaan Turki Usmani misalnya menyambut dengan penuh antusias. Ia
mendirikan organisai seruan Pan-Islamisme mengutus banyak orang ke berbagai
negeri Islam dengan pesan agar umat Islam bersatu dan meleaskan diri dari pemerintahan Barat. Hal ini dilakukan oleh
Sultan selama 30 tahun. Seruan Pan-Islamisme menghasilkan pengaruh yang sangat besar dan mendalam. Di
berbagai negeri muslim telah lahir tokoh-tokoh di kalangan umat yang berjuang
menuntut kemerdekaan dari penjajah Barat, seperti Abdul Hamid di Turki,
Muhamamd Abduh dan Saad Zaghlul di Mesir serta torkoh lainnya.
Konsep Negara menurut Al-Afghani
Selain Pan-Islamisme, Al-Afghani
juga mengajukan konseop negara republik yang demokratis bagi negeri-negeri
Islam. Al-Afghani banyak mencela sistem pemerintahan umat Islam yang bercorak
otokratis monarkhi absolut. Menurutnya, kepala negara harus mengadakan syura
dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang memiliki banyak pengalaman.
Pengetahuan manusia secara individu amat terbatas. Islam dalam pandangan
Al-Afghani menghendaki pemerintahan Republik di mana kebebasan mengeluarkan
pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada Undang-undang.
Pendapat ini baru dalam sejarah
politik Islam. Sebelumnya umat Islam hanya mengenal system kekhalifahan yang mempunyai kekuasaan absolut. Dalam
pemerintah republik, yang berkuasa adalah undang-undang dan hukum, bukan kepala
Negara. Ia hanya kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan hukum yang
digariskan oleh lembaga legislative
untuk memajukan kemaslahatan rakyat. Pendapat
Al-Afghani tersebut jelas dipengaruhi
oleh pemikiran Barat. Pemunculan ide
Al-Afghani tersebut sebagai reaksi
kepada salah satu sebab kemunduran umat Islam yang bersifat politis, yaitu
pemerintahan absolut. Di dalam
pemerintahan absolut dan otokrasi tidak ada kebebasan berpendapat. Kebebasan
hanya pada raja/kepala Negara untuk bertindak yang tidak diatur oleh
undang-undang. Karena itu, Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan
absolute dan otokrasi diganti dengan coak pemeritahan demokrasi.
Bukti keinginan Al-Afghani akan
pemerintahan yang demokratis, adalah penegasannya tentang keharusan kepala
Negara mengadakan syura dengan
pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak pegalaman. Pemerintahan otokrasi yang
cenderung meniadakan hak-hak individu
tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat
menghargai hak-hak individu. Pemerintahan otokrasi yang mawujud dalam
institusi khilafah saat itu harus diganti denegan pemerintahan yang bercorak
demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Pemerintah yang demokratis
menurut Al-Afghani menghendaki adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga
ini bertugas memberi usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan
suatu kebijaksanaan Negara. Ide dari
wakil rakyat yang berpengalaman merupakan
sumbangan yang berharga bagi pemerintah, karenanya para wakil rakyat
haruslah berpengalaman dan berwawasan luas dan bermoral baik. Wakil-wakil
tersebut akan membawa dampak positif pada pemerinnthan sehingga akan melahirkan undang-undang dan peraturan atau
keputusan yang baik bagi rakyat.
Demikian juga para pemegang kekuasan
haruslah orang-orang yang paling taat terhadap undang-unang. Kekuasaan yang
diperoleh bukanlah karena kehebatan
suku, ras, kekuatan material dan kekayaannya. Model inilah yang berlaku di
dalam sistem khilafah, yang bagi Al-Afghani tidak sesuai dengan ajaran Islam. Baginya, kekuasan itu
harus diperoleh melaui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demkian
orang yang dipilih mempunyai dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaanya itu. Menurut
Munawir Sadjali, Pan-Islamisme Al-Afghani itu adalah suatu asosiasi antar Negara-negara Islam dan
umat Islam di wilayah jajahan untuk
menentang kezaliman intern para penguasa muslim yang lalim, menentang
kolonialisme dan imperialisme Barat serta mewujudkan keadilan. Dalam kiprahnya
di dunia politik Al-Afghani banyak meyumbangkan pemikiran, yakni:
1.
Keyakian bahwa kebangkitan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud
kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni, dan meneladani pola
hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin.
2.
Perlawanan terhadap kolonislisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi
maupun kebudayaan.
3.
Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam Ilmu dan Teknologi, dan karenanya
umat Islam harus belajar dari Barat dalam
dua bidang tersebut.
4.
Menentang setiap sistem yang sewenang-wenang dan menggantikannya dengan
pemerintahan berdasarkan musyawarah.
5.Menganjurkan
pembentukan Jamiah Islamiyah/
Pan-Islamisme, menyatukan seluruh umat Islam termasuk Persia dengan menggunakan
suatu bahasa yakni bahasa Arab.
6.Melakukan
perubahan kekuasan dengan cara revolusi.
Referensi
Nasution,
Harun. 1996. Pembaharuan Dalam Islam: sejarah pemikiran dan gerakan. Jakarta :
PT Magenta Bhakti Guna.
Agung,
Leo S. 2013. Sejarah Intelektual. Yogyakarta: Ombak
http://khamdanguru.wordpress.com